Ahlan Wa Sahlan

Selamat Datang di Website Kami,Semoga Silaturahim Kita Tetap Terjalin,Bekerja untuk INDONESIA bersama PKS

Sambutan

Melangkah ke alam perjuangan berarti rela dalam kepahitan. Biarlah diri menangis, terluka, kecewa, asal tetap berada dijalan Alloh SWT, daripada mati tanpa mujahadah. Kita tak sanggup selamanya terluka, tapi setiap tetesan darah dari luka, peluh dan airmata adalah "MAHAR" kita ke surgaNya. Jika ditanya kenapa perjuangan itu Pahit ? Jawabannya : karena Surga itu Manis.

Upin

Tokoh


Dra. ANIS BYARWATI, M. Si.

Lahir di Surabaya tahun 1967. Menikah pada tahun 1989 dan dikaruniai delapan anak. Kuliah pertama ditempuh di Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta jurusan Financial Management. Gelar S1 diraih dari dua tempat, yaitu di Sekolah Tinggi Agama Islam AlHikmah Jakarta program Khusus Bahasa Arab dengan spesialisasi Tafsir-Hadits dan Sekolah Tinggi Agama Islam At-Taqwa Bekasi Jurusan Dakwah dan Penyiaran Islam. Gelar S2 diperoleh dari Program Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI) Jurusan Ekonomi dan Keuangan Syariah dengan pilihan konsentrasi Perbankan Syariah.
Penulis mempunyai minat tinggi di bidang sejarah Islam dan khususnya sejarah pemikiran ekonomi Islam. Untuk minatnya ini, penulis secara serius menuangkannya dalam sebuah buku yang ditulisnya bersama Dosen Senior PSKTTI-UI Karnaen Perwaatmadja, berjudul JEJAK REKAM EKONOMI ISLAMI-Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan. Buku yang diterbitkan bulan Maret 2008 ini sekarang menjadi salah satu referensi utama dalam Studi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islami di almamaternya dan di beberapa perguruan tinggi lainnya. 

Di samping itu, keseharian penulis di samping sebagai ibu rumah tangga, aktifis organisasi, juga aktifis dakwah dan pembicara di berbagai forum diskusi, seminar dan kajian Islam. Keaktifannya berdakwah merupakan manifestasi dari motto hidupnya : Isy Kariman aw Mut Syahidan (Hidup Mulia atau mati sebagai Syuhada).


Sketsa Biografi Hidayat Nur Wahid


dakwatuna.com - Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.
Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.
Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan, Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga, adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.



 KH. USTAD RAHMAT ABDULLAH (Alm)


 Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
      Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
    Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
    Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
    Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
     Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
    Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
    Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
    Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
    Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
    Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
    Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
   Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
   Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
   Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
   Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
   Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
    Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
   Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.
   Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
    Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu
     Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
    Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
    Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
   Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
    Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
    Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).
    Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. "Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.
Selamat jalan guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan.